Rabu, 05 Agustus 2009

Neoliberalism Sama Rusaknya dengan Komunis

Neo-Liberalis itu sama rusaknya dengan Komunis

Berpolemik tentang baik-buruknya neo-liberalis di Indonesia adalah sebuah diskursus panjang melelahkan. Saling klaim keberhasilan disatu sisi dan pengkritisan disisi lain adalah sesuatu yang abstrak, sulit dipahami oleh kebanyakan masyarakat. Tentu saja ada sisi keberhasilan dari mahzab neo-liberalis seperti pertumbuhan ekonomi. Hanya sisi-sisi keberhasilan ini dibayar dengan harga yang tidak murah: eksploitasi migas, rusaknya lingkungan di Papua dan wilayah pertambangan lainnya, penggundulan hutan, tingginya pengangguran, privatisasi BUMN sampai pada ketergantungan kita terhadap hutang luar negeri serta lebarnya jurang miskin dan kaya. Ini adalah ekses negatif dari mahzab neo-liberalis yang kita hayati selama ini.

Banyak ekonom berkeyakinan bahwa neo-liberalis itu diperlukan untuk melawan sistem komunis. Hanya keyakinan itu perlu disikapi secara bijak. Perlu sebuah kesadaran bahwa mahzab ekonomi neo-liberalis dan sistem ekonomi komunis itu sama bahayanya. Jika komunis menyerahkan aktivitas ekonominya melalui kebijakan sentralistik politbiro partai komunis, neo-liberalisme menyerahkan kebijakan ekonominya pada oligarki 3 besar lembaga pemeringkat ekonomi seperti: Standard & Poors, Moody dan Fitch.

Prinsip dasar dari neo liberalis itu memberi kepercayaan sepenuhnya pada mekanisme pasar dalam menjalankan perekonomian untuk mensejahterakan pelakunya (masyarakat). Mahzab ini berkeyakinan bahwa pasar itu adil dalam memberikan kesempatan dan informasi bagi seluruh pelakunya. Kenyataannya, mekanisme pasar justru dikendalikan segelintir pihak yaitu oligarki 3 besar lembaga pemeringkat ekonomi seperti: Standard & Poors, Moody dan Fitch, serta dibantu oligarki 5 besar Akuntan Publik dunia saat menilai kinerja sebuah institusi ekonomi.

Pasar (baca: masyarakat) mengambil keputusan ekonominya didasarkan penilaian dari lembaga tersebut. Jika lembaga itu mengatakan sesuatu itu “hitam” maka pasar pun memandang itu juga hitam, begitu sebaliknya. Masalahnya, lembaga-lembaga tersebut tidak tidak transparan dan hasil kerjanya sering kali tidak dapat dipertanggung-jawabkan. Disinilah cacat genetik dari neo-liberalisme yang ada saat ini.

Lihatlah peringkat yang dilakukan Moody terhadap Lehman Brothers Holding Inc (LBHI). Bulan Maret 2008 lalu masih diberi rating A1. Artinya, Lehman Brother itu mendapat peringkat: “layak investasi dengan resiko rendah”. Padahal kenyataannya LBHI keropos dan dipenuhi toxic asset. Bulan September 2008, hanya 6 bulan setelah mendapatkan nilai baik dari Moody, Lehman Brother bangkrut. Kebobrokan dan kebangkrutan kolektif perusahaan-perusahaan yang nota bene dinilai baik oleh Moody dan kawan-kawan inilah, yang membuat dunia harus menanggung krisis ekonomi. Ini salah satu contoh kasus tidak bertanggung jawabnya lembaga pemberi ranting.

Lantas bagaimana memahami neo liberalisme dalam perspektif kepentingan Indonesia? Harus disadari lembaga ranting itu bisa melakukan apapun. Jika penilaian kinerja berbagai institusi keuangan bisa disulapnya maka hal yang sama bisa juga dilakukan terhadap Indonesia. Lembaga ranting, dengan cara-cara “abrakadabra”, bisa menurunkan peringkat Indonesia; surat hutang Indonesia menjadi dinilai junk serta dikatagorikan negara tidak layak investasi. Apabila ini terjadi maka akan menyebabkan kepanikan bagi seluruh pelaku pasar di Indonesia dan berakibat chaos.

Sebaliknya, mereka pun bisa menyulap ranting Indonesia menjadi sangat baik dan sempurna tergantung dari kepentingan pihak-pihak yang ada di lembaga ranting tadi. Artinya, jika Indonesia mendapat ranting baik dari Moody dkk., tidak harus kita langsung bangga. Bisa jadi itu hanya pujian semu untuk memuluskan sebuah kepentingan tertentu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar