Rabu, 05 Agustus 2009

Kemerdekaan Ekonomi

Dalam buku yang berjudul Escape From Freedom, Erich Fromm menyoroti fenomena manusia yang takut merdeka. Manusia-manusia ini mengembalikan kembali kemerdekaan yang telah mereka raih karena mereka takut kemerdekaan yang mereka miliki hanya akan menyebabkan mereka teralienasi dari kehidupan sosialnya. Oleh sebab itu mereka siap dijajahkembali,kalau penjajahan tersebut mampu mengabadikan kebersamaan.
Tentu temuan ini menarik untuk didiskusikan. Bahwa ternyata ada orang-orang yang secara mental memang tidak siap untuk merdeka. Dan ini berada diluar mainstreim yang sedang berjalan di dunia modern saat ini, dimana kebebasan menjadi tema utama. Bahkan presiden George W. Bush dalam pidato pelantikan yang kedua kalinya bertekad untuk tidak memberi tempat kepada hadirnya tirani di dunia ini, seraya berjanji akan terus menyebarkan paham demokrasi sampai ke ruang-ruang gelap di dunia ini.

Jika sejenak kita amati, memang dalam kehidupan masyarakat kita seringkali penuh dengan ambiguitas atau sikap mendua. Sehingga sepintas lalu kita seperti melihat adanya inkonsistensi. Disatu sisi ingin merdeka, tapi disisi lain takut untuk bersikap atau takut berbeda. Di satu sisi ingin membangun demokrasi dan memberantas tirani, disisi lain suka menindas. Begitu juga dalam bidang ekonomi, di satu sisi ingin jadi orang kaya tapi rela menjadi pekerja dengan gaji seadanya. Atau sebaliknya, di satu sisi ingin jadi orang sederhana, tapi iri jika tetangga bisa punya mobil baru, rumah baru, dan lain sebagainya. Disatu sisi ingin mandiri dan merdeka secara ekonomi, disisi lain budaya hutang enggan untuk ditinggalkan. Malah di zaman modern ini ekonomi hutang menjadi semacam ideologi, dari tingkat negara sampai kemasyarakat.

Islam sendiri memberi kebebasan kepada ummatnya untuk menjadi apa saja atau hidup bagaimana saja sesuai dengan keinginannya. Yang terpenting mereka mampu mempertanggungjawabkannya dihadapan Allah SWT. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan malaikat Jibril kepada nabi Muhammad ketika Jibril berkata “wahai manusia, berbuatlah sekehendakmu. Tapi ingat engkau akan mati”. Dan setelah kematian yang ada adalah pertanggungjawaban, tidak ada kesempatan untuk melakukan perbaikan.

Dalam kehidupan ekonomi, ummat Islam boleh menjadi orang kaya raya, namun tidak dilarang untuk hidup sederhana. Yang terpenting pada setiap kondisinya memungkinkan mereka untuk bisa menjalankan perintah Allah SWT dengan sebaik-baiknya. Nah untuk bisa menjalankan perintah-Nya, menjadi orang kaya atau hidup sederhana sama saja asalkan mereka bisa merdeka secara ekonomi.

Lho..apa hubungannya kemerdekaan ekonomi dengan menjalankan perintah Allah? Orang yang ekonominya tidak merdeka biasanya akan kehilangan kemerdekaan dalam hal lain. Mereka yang tidak merdeka secara ekonomi akan sulit merdeka secara politik dan ideologi. Kalau sudah begini, bagaimana bisa menjalankan perintah Allah dengan baik. Dalam konteks negara kita bisa melihat, selama mendapat pembiayaan dari negara-negara lain, program pembangunan yang dijalankan harus sesuai dengan yang mereka inginkan. Dalam kehidupan keseharian, tidak jarang kita mendengar saudara-saudara kita yang tidak bisa shalat, karena pabrik tempat mereka bekerja tidak mengizinkan. Atau muslimah kita yang terpaksa menanggalkan jilbabnya karena kantornya melarang. Bahkan tidak sedikit yang melepaskan agamanya karena “dewa penyelamat” ekonominya berbeda agama. Banyak juga saudara-saudara kita yang kehilangan hari-hari I’tikafnya, karena pada 10 hari terakhir di bulan ramadhan kantornya belum libur dan mereka tidak dizinkan mengambil cuti.

Dunia bisnis kita belum bisa menerapkan transaksi yang sejajar antara buruh dan majikan atau antara pegawai dan manajemen. Majikan merasa telah menggaji buruh, karenanya boleh menentukan segala aturan secara sepihak. Buruh atau pegawai biasanya hanya punya dua pilihan, ikut dengan segala sistem dan aturan yang ada atau dipersilahkan untuk mencari tempat lain. Dunia bisnis kita belum bisa menerima transaksi sejajar, dimana buruh atau pegawai bukanlah pihak dengan tangan dibawah dan majikan atau manajemen juga bukan pihak dengan tangan di atas. Masing-masing saling melakukan pertukaran untuk memperoleh keuntungan bersama. Majikan punya uang yang dibutuhkan buruh dan buruh punya keahlian yang dibutuhkan majikan. Sehingga kedua belah pihak sesungguhnya saling memberi dan saling menerima, sama-sama tangan di atas dan sama-sama tangan di bawah.

Nah dalam situasi yang seperti ini, menjadi pegawai seringkali berarti meletakkan kemerdekaan ekonomi. Majikan atau manajemen selalu merasa sebagai pihak dengan tangan di atas, sehingga punya kuasa penuh mengatur “rizki” pegawai. Karena pegawai merasa bergantung secara ekonomi kepada perusahaan, sementara perusahaan tidak merasa bergantung kepada pegawai, akibatnya pegawai umumnya memilih berkompromi dengan segala aturan perusahaan meski aturan tersebut kadang bertentangan dengan nurani. Kita takut mengekspresikan apa yang kita pikirkan dan inginkan karena khawatir dapur kita tidak ngebul lagi. Dalam jangka panjang hal ini bisa merusak kesehatan mental kita. Karena kita pasrah dengan belenggu yang kita kenakan sendiri. Kalau sampai saat ini kita masih memilih menjadi pegawai, maka sebaiknya berhati-hati, jangan sampai demi menjaga gaji bulanan kesehatan mental kita sebagai gadainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar